NUANSA KEBERSAMAAN

Iman memang bisa mengubah segalanya. Bermula dari hati, segala prilaku akan bisa berubah. Begitulah perubahan pribadi yang dialami para sahabat Rasulullah. Tapi penting diingat, bagaimanapun kuatnya, iman seseorang tetap mengalami fluktuasi, naik dan turun. Itu memang sudah fitrahnya. Karenanya, berukhuwah dengan sesama orang beriman, tetap tidak dapat menolak munculnya sifat-sifat kemanusiaan yang akan mengganggu proses persaudaraan tersebut, “Orang yang mencari saudara yang tak memiliki kesalahan, maka ia tidak akan memiliki saudara," begitu pepatah Arab menyebutkan.

Perjalanan persaudaraan para sahabat, yang mendapat sentuhan langsung pembinaan dari Rasulullah, juga melewati kerikil-kerikil persaudaraan. Seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah, saat ia dipanggil Abu Dzar dengan kalimat "Wahai anak hitam…” Rasulullah yang mendengar perkataan itu segera menegur Abu Dzar bahwa dalam dirinya terdapat unsur jahiliyah. Abu Dzar sangat menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Bilal. "Saya tidak akan pergi sampai Bilal menginjak pipi saya…" katanya.

Inti dari kesadaran terhadap kenyataan ini adalah, perlunya segera melakukan ishlah atau perbaikan ketika terjadi kesenjangan. Di sinilah peran iman dan keikhlasan sangat menentukan. Sejauh mana tingkat iman dan ikhlas seseorang, akan membuka dan melapangkan hatinya untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Hikmah lain dari realitas ini adalah persaudaraan apapun tidak boleh memunculkan sikap segan untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan. “Kritikan seorang saudara lebih baik bagimu daripada engkau kehilangan dirinya," kata Abu Darda’. Syaikh Mazin bin Abdul Karim, dalam kitab Ar-Raid, menyebutkan bahwa kondisi persahabatan akan ternoda ketika orang-orang yang bersaudara itu justru melanggar tuntutan iman yang menjadi asas persaudaraannya. Di antara pelanggaran itu, menurutnya adalah memuji terlalu berlebihan, terlalu banyak canda, terlalu banyak pertemuan tanpa tujuan yang jelas.

Inilah yang disinggung Ibnul Qayyim rahimahullah. Ia menyebutkan bahwa pertemuan para saudara itu terbagi dua: Pertama, pertemuan sekadar melepas rindu dan melewati waktu. “Pertemuan seperti ini lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Minimal, merusak hati dan menyia-nyiakan waktu,” ujar Ibnul Qayyim, Kedua, pertemuan para saudara untuk saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. “Inilah harta yang paling bermanfaat,” katanya. Tapi Ibnul Qayyim memberi tiga catatan penting dalam katagori kedua ini. Menurutnya, ada tiga penyakit di sana. Yaitu, saling berlebihan dalam menghiasi dan memuji satu sama lain, pembicaraan dan pergaulan lebih dari yang diperlukan, serta bila kondisi itu menjadi kebiasaan menjadi hilang tujuan pertemuan seharusnya. (A/ fawaid, Ibnul Qayyim). Dalam hal ini, Rasulullah saw mengingatkan, "Jangan banyak tertawa karena banyak tertawa itu mematikan hati”, (HR. Ibnu Majah)

Selain itu, bila seorang mukmin mendapat perlakuan kurang baik dalam berukhuwah, hendaklah ia bercermin. Banyak para ulama yang menyebutkan bahwa sikap orang lain terhadap diri kita adalah cermin dari sikap kita kepada Allah. Sungguh menyentuh kalbu, apa yang dikatakan Abu Bakar Mazani rahimahullah, "Jika engkau mendapatkan kekeringan dari saudaramu, maka itu adalah karena dosa yang engkau lakukan. Maka bertaubatlah kepada Al-lah. Dan jika engkau mendapati dari mereka kecintaan yang bertambah, maka itu adalah karena taat yang kau lakukan, maka bersyukurlah pada Allah atasnya.” Wallahu’alam