CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Jumat, 07 Maret 2008

KILAS BALIK PERGERAKAN

KILAS BALIK PERGERAKAN

Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment ‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya sehingga kita tidak siap mengambil kendali.

Indonesia saat ini tidak akan mungkin terhindar dari proses politik internasional tersebut, apalagi dengan posisi geografis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik yang strategis baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi aktor kecil dalam pentas dunia. Sementara, aktor non-negara mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional.

Gerakan mahasiswa masih sering tersandung dalam jebakan issu dan heroisme yang membutakan. Dalam hal ini, idiom ‘demokrasi’, ‘HAM’, ‘anti-militerisme’, ‘civil society’ dll. lebih sering menjadi stimulan normatif yang berasal dari luar yang mengobarkan psikologi perlawanan. Idiom-idiom mulia itu seringkali hanya dipandang dari sisi normatifnya dan jarang dibaca dalam sebuah kenyataan politik dunia.

Sebagai bagian dari civitas akademika, mahasiswa diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide ke-Indonesiaan. Namun ternyata dinamika perpolitikan negara sangat mudah menggerakkan mahasiswa sebagai kekuatan gerakan ekstra parlementer. Melalui peran ini, mahasiswa hendak mengartikulasikan aspirasi politiknya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Kesemuanya itu diniati sebagai artikulasi kepentingan rakyat, berbareng bergerak bersama rakyat, sehingga diharapkan akan menjadi satu gerakan people power yang masiff dan progresif.

Dalam fakta, cita-cita luhur mahasiswa Indonesia nyaris menjadi utopi. Gerakan mahasiswa Indonesia sering hanya dijadikan alat dari kelompok-kelompok kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Tiga fakta menunjukkan kesimpulan itu.

Pertama gerakan mahasiswa tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit melihat kondisi negara yang sedang mengalami kegoncangan. Sistem politik nasional selalu mengalami perubahan bentuk pemerintahan, mulai dari Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi Terpimpin dan kembali lagi ke Republik. Lantas mulai dominannya partai komunis di pentas politik nasional juga membawa kekhawatiran bagi banyak kalangan di Indonesia. Tampaknya hanya sedikit yang sadar, bahwa tahun-tahun tersebut (1960-an) Indonesia menjadi panggung penting Perang Dingin.

Pada akhirnya mahasiswa memang ‘mampu’ menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Namun kekuatan mahasiswa tidak muncul dengan sendirinya. ABRI mulai berinfiltrasi dalam tubuh gerakan mahasiswa melalui Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957. Sebagai respon ataÿÿpertÿÿtaÿÿÿÿ ideologi ketikawaÿÿasABRI melirik mahasÿÿwa sebagai kelompok independenÿÿ yuk menjadi mitra. Dengan menggulingkan Soekarno, mahasiswa telah membantu menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi presiden. Namun kemudian mahasiswa justru harus berhadapan dengan strategi depolitisasi oleh pemerintah, yang lebih tertarik untuk berkoalisi dengan intelektual dan teknokrat murni yang selama ini tidak pernah concern dengan persoalan politik.

Kedua gerakan mahasiswa tahun 1974/1975. Mahasiswa sempat terprovokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada tanggal 15 Januari 1975 (Malari), terjadi pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia. Padahal gejolak politik ekonomi waktu itu merupakan akibat dari pertarungan perebutan pasar antara AS dan Jepang. Akibat Malari pemerintah mengeluarkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang membatasi aktivitas mahasiswa dalam kegiatan minat-bakat.

Ketiga gerakan Mahasiswa tahun 1998. Faktor signifikan yang mendorong Soeharto mundur adalah fluktuasi kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya pasar modal dalam negeri. Faktor tersebut muncul sebagai respon atas kekuasaan Soeharto yang hanya berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga menutup peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan dinilai mengancam kepentingan internasional AS. Situasi seperti ini, ditambah kondisi yang 32 tahun dirasakan rakyat, memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi reformasi (Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi Hukum, Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945). Momentum gerakan mahasiswa kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan reformasi ini telah dimanipulasi para elit politik, baik elit politik yang lama maupun yang baru, yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi diri dan kelompoknya dengan cara saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali Merah-Putih Yang Terkoyak : Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang kembali akan menjadi alat dan terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang ternyata hanya menguntungkan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil masyarakat ?

a. Mitos Gerakan Moral

Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure group yang ternyata didorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas berbagai problematika transisi. Berbagai kegagalan harus kita akui sebagai bentuk kelemahan kita bersama, salah satunya berasal dari keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.

Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di Indonesia, memang telah menggoreskan sebuatan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal ini dilatarbelakangi oleh ‘keberhasilan’ gerakan mahasiswa menumbangkan presiden Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001. Latar belakang inil mempengaruhi kemunculan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak dengan tombak issu-issu demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain. Rumusan sederhananya, “dengan menurunkan presiden, mahasiswa berarti berpihak kepada rakyat”.


Di lapangan, gerakan mahasiswa sesungguhnya adalah gerakan politik.

Pertama, gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral.

Kedua, stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran akademis yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh mitos independensi perguruan tinggi. Implikasinya pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan murni dan independen, jauh dari kepentingan pragmatis dan kepentingan politik tertentu.

Ketiga, gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang lainnya, telah menjadikan idiom-idiom tersebut sebagai standar moral gerakan. Moral kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara). Sementara pada sisi lain negara sebagai bentuk dari konsep trias politika (eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan legitimasi moral dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Keempat moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi, emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan gerakan. Kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi faktror eksternal seperti Badan Kerja Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.

Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba. Individu tidak mampu keluar dari penilaian dosa-pahala dan halal-haram. Kedua, belenggu dalam perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat. Individu tidak mampu keluar dari penilaian masyarakat terhadap perilaku, bermoral atau amoral.

b. Sejarah PMII & Mahasiswa Kontemporer

Saat didirikan, PMII merupakan bagian integral dari organisasi (Partai) NU. PMII dilahirkan sebagai sayap mahasiswa NU disamping GP Ansor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putri dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar, SARBUMUSI di sayap buruh dan LESBUMI di sayap seni. Maka keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keharusan.

Pada tahun 1974 ketika NU dipaksa melakukan fusi bersama partai-partai Islam lain dalam PPP, Deklarasi Independensi Murnajati-Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat relevan. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan partai politik. Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980, yang menegaskan kesaling-tergantungan PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhadap jama’ah Nahdliyyin.

0 komentar: